Langsung ke konten utama

Sepi dan Kesendirian

Pada satu malam aku menemukan kesendirian yang termenung bersama sepi. Aku menyapanya sambil mencari kantuk yang hilang karena tidur siang yang terlalu lama. Sepi mengingatkan aku padamu yang tak suka banyak bicara, khususnya padaku. Kesendirian mengingatkan aku pada diriku sendiri yang tak yakin betul-betul punya teman, aku takut mereka hanya ilusiku semata. Karena aku masih merasakan sepi dan kesendirian saat ramai atau bersama orang lain. 

Sepi menceritakan bagaimana sunyinya malam yang kadang hanya diterangi bulan. Kadang juga bulan tertutup kabut-kabut halus mendung. Malam seperti itu yang membuat kesan horor pada orang-orang penakut sepertiku ini. 

Kesendirian menceritakan bagaimana rasanya ditinggalkan. Juga perasaan ditinggalkan. Dua hal itu berbeda, rasanya ditinggalkan dan perasaan ditinggalkan. Yang pertama memang karena seseorang pergi, sedang yang kedua hanya pikiran yang memproduksi perasaan bahwa orang-orang telah pergi. Kau paham maksudku?
Kali ini yang aku pikirkan adalah yang kedua. Berulang kali aku bertanya pada diriku sendiri, mengapa? Ada apa? Berkali-kali juga diri dalam diriku menyalahkan aku. Mari sini aku jelaskan mengapa.

Aku bertemu banyak orang beberapa tahun terakhir ini, berbagai macam jenis bentuk dan sifatnya. Aku menemukan beberapa orang menyebalkan, yang pada akhirnya bisa menjadi teman baikku. Aku juga bertemu dengan beberapa orang baik hati, namun setelahnya aku tahu ia hanya memanfaatkan aku. Ada pula mereka-mereka yang mulai berubah, tak seperti dulu saat aku cukup mengenal mereka. 
Barangkali memang benar, orang-orang banyak datang banyak juga yang pergi. Semua soal waktu dan soal perkembangan sosial. Banyak benarnya juga karena sikapku yang tak sesuai lagi seperti yang mereka harapkan, atau aku yang menjauh karena mereka tak lagi menjadi apa yang ku harapkan. Oh hidup, sudah diingatkan bahwa jangan pernah mengharap pada manusia, masih saja aku melakukannya.
Dalam diriku selalu menyalahkanku yang selalu saja terlalu menyebalkan untuk teman-temanku. Aku yang terlalu responsif sehingga orang malas menggubrisku. Juga aku yang terlalu heboh membuat orang malas mengajakku. Mungkin juga aku terlalu banyak omong. Kadang aku merasa sangat berbeda dengan orang-orang lain, secara fisik, secara pengetahuan, secara material, secara sudut pandang.
Kadang aku menarik diri, kadang mereka yang pergi.

Aku tak pernah bisa menulis hasil dari semua ocehanku. Makanya aku tak pernah berani menuliskan soal ini. Aku tak punya poin apa-apa tentang tulisan ini. Namun kali ini aku biarkan saja ini menggantung tak terselesaikan. Biar sepi dan kesendirian tahu bahwa mereka punya teman baru, aku.

Dan akhirnya aku mampu menangkap kantuk yang sejak tadi aku cari. Kasur beserta bantal guling sudah memanggil-manggil untuk mengeloni aku. Jadi kuputuskan untuk benar-benar mengakhiri percakapanku dengan sepi dan kesendirian. Baiklah kawan, sampai jumpa lagi di keresahan hati berikutnya. Mari terpejam...


Ruang musik dalam kepala

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Untuk Bima

Teruntuk, Bima Amartha Putra   Selalu saja keadaan buruk seperti ini yang memaksaku untuk ingat masa lalu. Yang aku ingat, kau suka bernyanyi. Sama sepertiku. Hanya saja kemampuan dan keberanianmu lebih besar ketimbang aku. Dengan gitar kau berdendang tanpa ragu. Aku hanya ikut bersenandung “hmm”. Sepengingatanku, kau pernah jadi pacar temanku. Hubungan yang berlangsung cukup lama dan banyak hal yang terjadi antara kau dan temanku. Putus-nyambung, selalu jadi bumbu. Kau adalah salah satu sahabat dari orang yang pernah cukup dekat dengan ku (sebut saja “mantanku”). Kau mengenalnya lebih dulu daripada aku. Mungkin sebab itu juga kita bisa berteman. Yang aku pernah ingat, tak jarang kita semua bermain di luar jam sekolah. Hanya sekedar nongkrong ala anak abg. Sesekali mengabadikannya lewat foto-foto yang jika dilihat sekarang akan membuat kita berkata, “iuuuuhhh, ini kita dulu?” Kini kau sedang berjuang. Aku tahu kau sedang berjuang. Aku tak pernah cukup dekat unt...

Pergi ke Makassar

Negara seribu pulau adalah salah satu sebutan untuk Indonesia. Memang, karena saking banyaknya pulau yang dimiliki oleh Indonesia. Banyak turis datang untuk berkeliling dan mencari surga-surga tersembunyi di pulau-pulau kecil negara ini. Aku iri. Aku sebagai orang Indonesia justru belum punya kesempatan untuk berkeliling di negeri sendiri. Awal tahun ini, aku bertemu dengan sahabatku, membicarakan impian-impian yang ingin kami capai. Ohya, teman yang satu ini adalah salah satu teman yang selalu memberikan aku semangat untuk terus bermimpi. Bermimpi setinggi-tingginya. Selanjutnya aku melanjutkan perjuangan-perjuangan yang memang harus aku lalui, kadang tak setangguh saat aku memimpikannya. Aku rasa  seringkali aku kurang memaksakan diri untuk hal-hal baik. Semoga belum terlambat untuk mengejar mimpi-mimpi itu. Percakapan semakin seru saat kami membicarakan penulis  dan penyair favorit kami, Aan  Mansyur. Ia berdomisili di bagian timur negara ini, tepatnya di Kota...

Umi..

Ku lihat Wanita paruh baya, sedang bersimpuh di hadapan-Mu. Meminta dengan khusyuk.  Ku lihat wajah sendu, dengan senyum tipis terkembang .  Umi, itulah panggilannya. Panggilan seorang untuk seorang ibu. Ibu yang rela berpisah dengan anak bungsunya demi membantu sepupu dari suaminya, bukan keluarga kandungnya.  Seorang istri yang setia, siap sedia menemani sang suami hingga akhir. Merawat, menemani. "Nining, jangan main-main keluar.", pinta Bapak saat itu. Dengan senang hati, Umi menyanggupinya. Istri yang selalu menyanggupi keinginan suaminya. "ning, saya mau sop daging bening." walau harus berjalan, dilakukan oleh Umi. Aku tak pernah mengerti cinta sejati, tapi cinta yang tulus bisa kulihat dari ibu kandung ku yang baru ku kenal baik beberapa bulan terakhir ini.  Umi, semoga uji bisa menjadi istri dan ibu seperti Umi kelak..