Langsung ke konten utama

Akira, Rindu dan November



31 Oktober 2013
Hujan datang lagi, November sudah di pelataran rumah. Kau tetap jauh di sana. Kau selalu sebal karena aku tak merindukanmu. Tapi aku lebih sebal lagi karena tak lagi tahu tentangmu, tentang hidupmu, tentang bakso kesukaanmu dan tentang hujan bulan Novembermu. Aku merindukanmu, sejak hari itu aku terus merindukamu. Kau curang, dengan cara begini kau membuatku rindu, apakah tak ada cara lebih halus? Dasar tak sopan pergi begitu saja tanpa berpesan apapun.
Ah sudah lah, seberapa sebalnya aku padamu tak akan mampu melebihi rasa rinduku padamu. Hei, jadi ini rasanya rindu tak berbalas? Apa kau menghukumku karena terlambat merindukanmu?
Peluk hangat,
Awal
***
2004
Tahun ini tahun keduaku di sekolah menengah pertama. Dikelas baru ini seperti tidak asing, ada ikatan yang menarikku untuk masuk dan tak ingin keluar lagi. diisi oleh 39 Siswa, 19 anak perempuan dan 20 anak laki-laki. Kami, anak laki-laki, bagaikan raja sekaligus pengawal para gadis. Sifat dan karakternya pun beragam. Ramadhan si super jahil, Nurul yang selalu jadi bahan ejekkan Ramadhan, bahkan aku adalah salah satu yang terkenal karena aneh. Entah apa yang membuatku mendapat julukan seperti itu.  tapi aku memang tak terlalu peduli dengan omongan mereka, aku lebih senang lihat yang terjadi, menjelajah dan mengamati sekitar tanpa harus ikut kedalamnya. 
Dia, adalah Kira. Namanya Akira, bukan Akhirat. Katanya sih dia anak terakhir dari 4 bersaudara, jadi Ibunya memberi nama Akira. Dia teman sekelasku di tahun kedua ini. Gadis atraktif dan bawel ini banyak tingkah. Lari sana, lari sini, ngobrol sana, ngobrol sini, rasanya ingin aku bekap mulutnya. Dia juga suka menggodaku, mengajakku bercanda. Pada akhirnya aku mengalah, aku ikuti permainannya, aku mulai terbiasa dengan ke-“berisik”-annya itu. 
Di kelasku ada peraturan, setiap hari harus berganti pasangan tempat duduk. Jadi kami benar-benar kenal siapa saja teman kami di kelas, karena kami pernah duduk dengan semua anggota kelas paling tidak satu kali. Satu hari aku mendapat duduk dengan si cerewet, Kira. Dia tak berhenti bicara, mulai tentang pelajaran yang sedang dibahas, tentang teman sekelas, bahkan tentang cuaca di luar kelas. Dia selalu membawaku pergi dari luar kelas. Menyenangkan sekali duduk bersamanya saat pelajaran fisika.
Satu hari saat istirahat ia menghampiriku di depan kelas. 
“Awal! ajari soal matematika yang kemarin. Aku buntu sekali. Yayayayayayayaaaaa?”
“Ah kau ini, selalu saja. Jelas saja buntu, kau selalu saja tidak memperhatikan saat pelajaran berlangsung..”
“Aaaaah, kau sudah berani menasehatiku yaa.. ayolah, ajari ya ya yaaaa. Nanti aku belikan mie ayam depan sekolah..”
“Ah yasudah.. tapi benar-benar perhatikan ya!”
“hihihi asyiiiiiik…”
Dia yang selalu berhasil membujukku untuk mengajari pelajaran yang tidak ia pahami. Dia selalu berhasil membujukku dengan rengekkannya yang takkan berhenti sebelum ada persetujuan, dan juga karena mie ayamnya. Dia selalu berhasil membuatku berkata, “Ya”. Aduh, aku jadi terlihat gampangan, ya?
Hari ini giliran ku duduk bersama sobatku, Wawan. Kami mengobrol tentang apa saja. Tiba-tiba Wawan mengalihkan pandangannya kepada si bawel yang sedang lari kesana kemari. Aku lihat lagi, wajahnya sedang sumringah. Wawan jatuh cinta. Ku tepuk pundaknya lalu menggodanya. Ia mengelak, bersikap sok tangguh seakan tak terjadi apa-apa dan melanjutkan percakapan yang biasa kami bicarakan. Tapi aku tahu, matanya tak pernah lepas dari Kira. Wawan benar-benar jatuh cinta.
Selang beberapa minggu, waktunya ujian smester satu di tahun kedua ini. Lagi-lagi aku duduk bersebelahan dengan Kira. Kali ini dia diam, karena ujian matematika membuatnya bungkam seribu bahasa. Lucu sekali melihatnya mengerjakan soal matematika, dia akan mengerutkan dahi dan bibirnya akan maju sampai batas maksimal. aku lanjutkan mengerjakan ujian milikku sendiri. Selesai ujian kira tiba-tiba mengajakku bicara, wajahnya serius.
“Aw….”
“Apa?”
“Wawan nembak aku.”
“Lalu?”
“Aku menerimanya.”
“Lalu?”
“Kami pacaran.”
“Lalu?”
“Tak ada pertanyaan selain ‘lalu?’, hah?” jawabnya kesal.
“hahahah selamat kalau begitu..”
“Kau tak bertanya bagaimana bisa? Semua orang yang ku beritahu bertanya itu..”
“Aku hanya merasa tak perlu bertanya, karena aku tahu..”
“Kau peramal, ya?”
“Sudah ah, kau ini. Sebentar lagi ujian IPS” ku dorong wajah penasarannya menjauh dariku. Ia mendengus kesal dan kembali menekuni buku IPS.
***
November 2007
Pesan singkat mengejutkanku.
Wawan dan aku memutuskan untuk berpisah. Dia punya gadis yang lebih lucu dan lebih pintar.
   Kau sedih?
Entahlah, aku sebal. Bisa ketemu? Aku ingin makan bakso. Ayo! Ku traktir mie ayam
   Kau dimana? Biar ku jemput.
Kira tak membalas. Dan aku tahu dimana dia berada saat hatinya gundah gulana. Hanya satu tempat dia merenung. Di atas rongsokan mobil jeep tua di bawah pohon kedondong. Duduk sendirian, mengelupasi cat mobil yang sudah pecah-pecah. Setelah melihatku, dengan gesit ia turun dan langsung menarik tanganku. 
“Ayo cepat, aku lapar!”

Itu kali pertama ia patah hati. Ia bubuhkan sambal hingga sepuluh sendok makan, ditambahnya cuka dan garam agar cukup asam dan gurih. Aku tak yakin mulutnya akan bisa merasakan baksonya, yang ku hirup hanya aroma cabai yang sangat menyengat. Dia tak bicara padaku, tapi bicara pada isi dalam mangkuknya. Berkali-kali ia aduk, berkali-kali ia tiup uapnya. Rasanya tak habis-habis. Jelas, ia tak memakan isinya. Dia benar-benar patah hati. 
“Hei, itu bakso. Bukan cucian yang harus terus diputar dan diputar. Gigit basonya!”

Dia menoleh padaku, dengan wajah sebal ia mulai memakan basonya yang mulai dingin. Memang dasarnya dia sangat menyukai bakso, apapun rasanya akan tetap ia habiskan hingga tak bersisa kuahnya. Sambil bercucur keringat menghabiskannya, aku tahu ada air mata yang jatuh bersama bulir keringat itu. Itulah Kira, senang menyembunyikan sedihnya saat memakan semangkuk bakso pedas.
Ya, Kira patah hati di masa SMA. Dan, ya, kami masih terus bersama.
***
Agustus 2010
Hari itu Kira mengajakku menonton film eropa dalam acara festival film eropa. Kami menumpangi bis reyot yang pandai sekali berkelit di jalan yang penuh mobil. Seperti biasa, selalu ada saja yang ia bicarakan. Hari ini dia bicara tentang impian-impiannya di masa depan. Salah satunya menemukan pasangan hidup. Kira, sisi kekanakannya masih sangat melekat di usia beranjak dewasa ini. Sekalipun ia membicarakan soal jodoh, aku tak pernah menangkap kedewasaan pada dirinya. Ia selalu diliputi perasaan romantis ala film drama atau dongeng para putri.
“Kau ini terlalu serius! Tak pernah bisa romantis sedikit.”
“Aku bukan serius, hanya realistis..”
“Tapi tak ada salahnya berkhayal, setidaknya aku percaya masih ada orang seperti itu meski hanya satu di dunia ini.”
“Ya, ya, ya… fantasi percintaanku berbeda denganmu…”
“Kau juga punya imajinasi cinta-cinta-an? Ku kira yang dipikiranmu hanya pelajaran dan teman-temannya”
“Sial! Aku pun pernah jatuh cinta!”
“OH, YA?! Mengapa tak pernah cerita?”
“Untuk apa? Kau bawel..”
“Apa urusannya dengan bawelku. Toh aku masih mendengarkanmu bicara. Aku tak pernah memotong saat kau bicara, kan? Ayolah ceritaaaaaaaaa….” rengekkan, pintar sekali ia merengek seperti bayi, membuat orang sebal mendengar rengekannya dan akhirnya mengalah untuk menuruti maunya.
Ku ceritakan tentang Dina, gadis soleha nan anggun yang pernah duduk sebangku denganku saat SMA. Ku ceritakan juga ketidakmungkinan ku untuk bersamanya. Kira, selain cerewet memang selalu menjadi pendengar yang baik. Hanya saat seperti ini ia bisa menjadi cukup dewasa bagiku.
“Kau jadi lanjutkan studi di negeri orang?”
“Jadi, nanti akhir bulan aku berangkat..”
“Jadi kau akan meninggalkanku?”
“Hanya dua tahun. Kau masih bisa menghubungiku..”
“Tapi kita nggak bisa makan bakso dan mie ayam lagi…”
“Sejak kapan kau jadi manja seperti ini?”
“Entahlah, sulit membayangkan hari-hari tanpamu. Aku sebal tak ada yang mendengarkan. Aku tak mau makan bakso sendiri.”
“Dua tahun sebentar. Bersabarlah.”
***


November 2010
Aku menikmati kesendirian di negeri orang. Aku menikmati kegiatan di sini. Tapi selalu saja ada yang mengganggu ketenanganku. Siapa lagi kalau bukan si cerewet.
HEI! AKU SUDAH MERINDUKANMU!
Ini baru 3 bulan..
Jadi kau belum rindu padaku? Pada rumah juga?
Sorry, not yet..
Aku bukan orang yang mudah merindu. Sejak awal aku senang menghadapi petualangan. Ini petualangan bagiku.
***
Agustus 2011
Kira masih terus di sisiku meski jarak menjadi jurang pemisah. Ya, Kira, si bawel dari gua macan.
Hei, sudah hampir setahun kau disana. Kau ingat?
Ya, tak terasa sudah setahun.
Padahal rasanya baru kemarin aku mengantarmu ke bandara. Sambil sedikit meneteskan air mata.
Kau menangis?
Tidak, aku tertawa! Dasar bodoh!
Ahahah maaf, tapi mengapa aku tak melihat?
Ya, karena hanya tinggal punggung dan ranselmu yang kulihat..
Ooh
Hei, sudah rindu rumah?
Hmmm, belum…

Aku belum merindukan rumah. Aku hanya sedang menikmati petualangan di negeri orang, petualangan yang entah kapan lagi akan ku dapatkan. Petualangan yang akan menjadi batu loncatanku meniti karir di negeri orang.


November 2011
Tahun ini akhir bulan ini Kira akan wisuda. Jangan salah, bukan aku yang terlambat lulus, tapi Kira mengambil D3 sehingga ia dapat menyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu. Sayang sekali aku tak dapat menghadiri acara wisudanya karena aku yang masih dalam studiku. Seperti biasa, dia langsung saja menyapaku di aplikasi chatting tak berbayar
Bulan ini aku wisuda. Dan kau masih disana L
Salah kau yang duluan wisuda.. hahaha
Salah kau yang pergi jauh sekali dan tidak mengajakku
Maaf, jika bisa aku ingin sekali datang…
Jika aku meneruskan S1 nanti, kau HARUS datang!
Amiiiin..
***
Oktober 2012
Pagi ini aku melakukan video call dengan Ibuku. Ibu baik saja, Ayah juga begitu, dan Dwi, adikku sedang berjuang di sekolah pelayarannya. Tiba-tiba Ibu bilang Kira sempat masuk rumah sakit, tapi Ibu tak mengerti jelas apa yang di deritanya. Kata ibu, Kira terserang demam tifoid karena masih sering jajan sembarangan dan terlalu lelah bekerja. Ya, Kira sudah bekerja di salah satu stasiun radio terkenal. Bukan sebagai penyiar, tapi produsernya. Beberapa hari ini memang aku tak sempat mengajaknya berbincang, ku kira memang baru-baru ini ia masuk rumah sakit jadi memang dia belum sempat mengatakannya padaku. Tapi ibu bilang sudah sejak seminggu yang lalu ia berbaring lemah di rumah sakit.
Selesai bicara dengan ibu dan ayah, aku langsung menyapanya..

Hei cerewet.
Haiiiiiiiii kesayanganku, rindu padaku ya?
Mengapa tak bilang kalau sakit?
Kalau aku sakit kau bisa merindukan ku ya? Hihihi
Sakit apa?
Biasa, aku terlalu semangat melakukan pekerjaanku. Kata dokter harus istirahat total.
Oh…
Sudah? Selesai khawatirnya?
Kau harusnya tahu diri, kalau sudah lelah jangan dipaksakan!
Aku rindu makan baso bersamamu….
Ohya, aku segera pulang.
Ah, benarkah? Kapan kau di wisuda… kirimkan foto mu yang paling keren ya!!
Cepat pulih ya..
Siap bosss!
***
November 2012
Teruntuk kesayangaku,
Awal
Tiba-tiba aku ingin menulis surat untukmu. Aku malas bertanya kabarmu, karena aku yakin kau tetap akan baik-baik saja disana. Kau terlalu mudah beradaptasi berada di luar jangkauan orang-orang yang mengenalmu. Seakan enggan direcoki dengan hal-hal yang menurutmu sepele. Mungkin aku sok tahu.
Aw, jika lihat kalender aku ingat waktu pulangmu akan segera datang. Dua minggu lagi, kan? Aku ingin menjemputmu jika bisa. Dan kuharap hari itu hujan. Aku ingin terjebak hujan bersamamu di warung bakso kesukaanku dan mie ayam kesukaanmu, emm, mie ayam yang kau terpaksa harus kau suka. Aku tak mengerti mengapa kau begitu baik mengalah kepada keinginanku. Tapi aku senang kau melakukannya, kau ini benar-benar teman terbaikku.
Aw, disini hujan. Aku menatapnya dari jendela kamar rumah sakit. Aku sendirian disini. Pasien yang lain sudah pulang, padahal aku pula yang pertama masuk. Aku sudah bosan disini. Kalau kau ada, mungkin takkan sesepi ini. aku menantikan kepulanganmu, sangat. November terakhir ini jadi sangat menyakitkan, selain karena badanku yang terkapar, dan ketiadaan hadirmu.
Awal, aku rindu. Apa kau masih tak merindukanku?
Penuh peluk,
Akira

Surat itu datang sehari sebelum aku pulang. Hatiku mencelos saat tahu ia masih di rumah sakit saat menulis surat itu, yang artinya ia sudah berada di sana selama hampir satu bulan. Aku gelisah. Seluruh jiwaku terasa berlari berburu ke tempatnya. Beberapa hari ini ponselnya pun tak dapat ku hubungi, seluruh media sosialnya pun tak ada jejak.

Kira, ku harap kau baik-baik saja.

Langkahku terlalu ringan menuju bandara, meski penuh dengan rasa khawatir. Semalaman aku tak juga terlelap karena gelisah di dukung oleh kopi tak mengijinkanku untuk terpejam sedikitpun. Aku masih mencoba untuk menghubungi Kira.

Kira..
Ya, Awal..
Kemana saja kau?!
Maaf, aku tak menyalakan ponselku.
Dua minggu tak kau nyalakan ponselmu? Ponsel mu rusak? Kau masih sakit?
Tidak
Lalu? Kau masih sakit?
Hanya ingin istirahat. Badanku mulai enak hari ini. besok kau sampai jam berapa? Aku ingin menjemputmu..
Mungkin jam 5 sore.
Baiklah. Aku menunggu, Aw…
Aku khawatir padamu, Kira..

Ganjil sekali percakapan itu. Setelah pesan terakhirku ia tak membalasnya. Aku harap dia memang sedang ingin istirahat. Sungguh keterlaluan dia, membuatku khawatir setengah mati seperti ini.

***

Desember 2012
Desember sudah menyapa, meski sudah di tempat tropis seperti ini aku masih saja merasakan hawa dingin musim salju di sana. Barangkali juga karena aku yang masih tak ingin bicara dengan Kira. Dia bohong padaku, tak datang menjemputku, tak juga menghubungiku. Hingga hari ini, hampir 2 minggu setelah kepulanganku. Tega sekali dia. Tapi lebih mengesalkan lagi karena aku harus disibukkan dengan segala pekerjaan di kantor baru. Ya, aku sudah bekerja sekarang, lebih tepatnya diajak bekerja oleh kolega Ayahku di perusahaan minyak.

Aku jadi merasa bersalah juga pada Kira karena tak mendatanginya. Tapi kenapa pula dia tak mendatangiku, biasanya ia lincah kesana kemari hanya untuk menggangguku. Diantara perasaan kesal, terselip firasat yang ingin ku buang jauh-jauh. Kulanjutkan kembali aktivitasku, di depan komputer, menghadiri meeting, dan dan pekerjaan kantor lainnya yang semakin membuatku bosan.
Di sela-sela meeting, ibuku menelpon.

“Mas, kamu bisa datang ke Rumah Sakit?”
“Lho ada apa? Mama sakit?”
“Kalau sempat tolong datang.”

Klik!

Begitu saja. Ibuku tak biasanya melakukan hal ini padaku. Perasaanku berkecamuk. Isi pertemuan siang itu tak kutangkap dengan sempurna. Sesegera mungkin aku meninggalkan kantor untuk menyusul Ibu ke rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit, Ibu sedang menungguku di ruang tunggu lobby.
“Bu, siapa yang sakit?”
Ibu hanya tersenyum getir.
***
Untuk Awal,
Barangkali kau akan marah padaku. Tapi selagi aku masih mampu menulis, aku ingin menulis untukmu. Kau bisa kenang tulisan ini sebagai surat cinta jika kau mau. Jika kau mau lho, aku tak memaksamu.
Awal, maaf aku tak ceritakan soal ini. Aku tak ingin kau khawatir berlebihan terhadapku. Aku sudah hampir sebulan berbaring di rumah sakit. Rasanya lelah sekali. Kau tahu, minum obat setiap hari, makan-makanan yang membosankan setiap hari, ruangan yang sama setiap hari. Aku bosan. Aku ingin bakso, tapi aku tak boleh makan-makanan seperti itu, kata mereka ususku terlalu lelah untuk mencernanya jadi aku makan bubur saja setiap hari. Aaah kau tau betapa membosankannya?! Kau bisa bayangkan! Huh!
Aku memang ingin kau ada di sampingku saat ini, hanya saja, aku tak yakin apakah kau bisa membuatku tegar, atau malah membuatku menangis. aku juga tak tahu apakah kau ingin melihatku seperti ini, rasanya tidak. Sebagai penghibur, Ibumu dengan sangat baik menemaniku disini, bersama Ibuku, kami melakukan hal-hal yang biasa dilakukan wanita. Bergosip, nonton drama, mengecat kuku, sesekali berdandan. Aku minta pada Ibumu agar tak menyampaikan kondisiku padamu. Kau pasti marah, kan?
Awal…
Aku merindukan mu. Apa kau sudah merindukan ku?
***
Aku terlalu kesal untuk menebak-nebak yang sedang terjadi. Aku mendadak berhenti dan memberhentikan langkah Ibu.

“Bu, tolong jawab Awal, siapa yang sakit?”

Ibu terlihat ragu untuk bicara, matanya mengiba, seakan tak tega mengatakannya.

“Kira, Nak..”

Seketika aku merasakan angin musim dingin di negeri orang. Aku sudah tahu ini sejak pertama, aku tahu, tapi aku menyangkalnya. Kira, ada apa denganmu?!

Aku berdiri di depan kamar nomor 611. Aku ragu. Tapi kakiku bergerak cepat. Di dalamnya aku tempukan gadis kurus yang wajahnya tak asing, walaupun terlihat lebih tirus pipinya, tapi ku lihat mata sendunya mengerling.

“Kira……” kataku lemah, setengah berbisik.

Ia mendengar, ia menengok, ia tersenyum. Senyum itu, aku kenal senyum itu. satu-satunya senyum yang selalu membuatku nyaman selain bersama Ibuku, senyum gadis itu. Langkahku terbata mendekati tempat tidurnya.

“Hei! Mengapa kau lemah sekali sih! Sini kau!” teriakan itu, berasal dari matanya.

Aku duduk di tempat tidurnya, meraih tangannya yang bebas dari jarum infus. Tak ada percakapan. Kami hanya bertatap. Aku kehabisan kata, semua tertelan air mata yang mulai menggenangi pelupuk mata. Aku menggenggam tangannya erat.

“Jangan cengeng!” kata matanya nakal.
“Kenapa kau tak pernah bilang?” aku tak bisa membaca matanya, ia hanya tersenyum.
“Kira, aku merindukanmu, sangat merindukanmu..” kataku setengah berbisik.
Air matanya meleleh, semua berjatuhan. Bibirnya masih tersenyum.

***
November 2013
November sudah menanti di pelataran, menanti untuk disambut. Bersama semangkuk mie ayam bakso, aku selalu senang menyapa November, anginnya menghembuskan ceria melankolis Kira. Mengingatkan padaku bahwa selalu ada ceria di bulan November yang penuh melankoli hujan. Terima kasih sudah memperkenalkanku pada Novembermu, Kira.
Aku merindukanmu, Kira………

Komentar

Postingan populer dari blog ini

selamat pagi untuk bunga matahari

semenjak ditinggal olehmu, aku jadi lebih senang menghitung dan mengingat tanggal. aku ingat kapan kamu pergi, kapan kamu terakhir menghubungiku. tapi maaf, soal ulang tahunmu aku masih mengandalkan pengingat di facebook karena dekat ulang tahunmu banyak orang juga yang berulang tahun, jadi aku sering keliru. aku tetap manusia, kan? jadi bagaimana kabarmu? masih betah di persembunyian? atau masih senang menjelajahi negeri indah dengan sepeda-sepeda antik mu? menghirupi udara segar setiap hari. aku sering kali ingin menemanimu. tapi aku tak mampu. aku bisa apa? aku ingin dengar cerita-ceritamu, tapi tak selalu kau ceritakan, sekalipun aku memintanya. aku bisa apa? kamu tahu, bunga matahari sudah tumbuh tinggi di depan jendela kamarku. cantik sekali. apalagi saat ia bersanding dengan matahari. semakin cerah. jadi, padanya kuucapkan salam pagiku setiap harinya. bunga itu yang dulu kamu tanam untukku. katamu, "paling tidak ada yang cerah ketika aku tak disamping...

Padang Rumput Sepi

Angin yang berhembus siang ini, menerpa wajahku yang menatap kosong rerumputan dari atas pohon ek tua. Kehadiranmu yang dulu menemaniku membaca, berbagi cerita, saat itu kita bersama. Berlarian menangkap belalang dan mengejar kupu-kupu yang sejenak menghinggapi bunga. Bermain air di aliran sungai jernih, melepas dahaga  Kapan kau kembali melakukan kesenangan itu lagi? Atau mungkin kau sudah temakan usia yang terlanjur dewasa Hingga tak lagi memiliki keinginan untuk bermain kejar-kejaran di padang rumput luas. Tak mengapa jika ku merindukan mu, bukan?  Biarlah aku bergelut dengan siksaan kerinduan ini,  biar aku yang merasakan acuhmu Karena ku tahu, itu memang sudah menjadi tabiatmu. Kerinduan ini benar-benar di provokasi oleh jarak. Sebelum ini toh aku masih senang saja kau berada jauh. Atau mungkin perasaan yang mulai berubah. Terserah lah. Apapun alasannya, selama aku memiliki buku, rasanya menanti mu takkan terasa sunyi, di p...

Pantulan Kaca Jendela

semerbak wangi kerinduan tercium dari sepoi angin malam ini.  ditemani rintik lembut sang hujan yang sedikit demi sedikit memenuhi kaca, aku duduk di dalam bus yang melaju kencang.  sambil merasakan derai angin yang menerpa wajah, kerlap-kerlip lampu kendaraan yang lalu-lalang memenuhi pemandanganku.  pantulan kaca jendela menggambarkan lengkung wajahmu.  hmm, aku sedang melamun. buktinya? pantulan dari kaca itu adalah buktinya. gambar diambil dari http ://www.123rf.com/photo_8412613_raindrops-over-window-glass-closeup-blurred-night-background-with-coloured-lights.html