31 Oktober 2013
Hujan
datang lagi, November sudah di pelataran rumah. Kau tetap jauh di sana. Kau
selalu sebal karena aku tak merindukanmu. Tapi aku lebih sebal lagi karena tak
lagi tahu tentangmu, tentang hidupmu, tentang bakso kesukaanmu dan tentang
hujan bulan Novembermu. Aku merindukanmu, sejak hari itu aku terus merindukamu.
Kau curang, dengan cara begini kau membuatku rindu, apakah tak ada cara lebih
halus? Dasar tak sopan pergi begitu saja tanpa berpesan apapun.
Ah
sudah lah, seberapa sebalnya aku padamu tak akan mampu melebihi rasa rinduku
padamu. Hei, jadi ini rasanya rindu tak berbalas? Apa kau menghukumku karena
terlambat merindukanmu?
Peluk hangat,
Awal
***
2004
Tahun ini tahun
keduaku di sekolah menengah pertama. Dikelas baru ini seperti tidak asing, ada
ikatan yang menarikku untuk masuk dan tak ingin keluar lagi. diisi oleh 39
Siswa, 19 anak perempuan dan 20 anak laki-laki. Kami, anak laki-laki, bagaikan
raja sekaligus pengawal para gadis. Sifat dan karakternya pun beragam. Ramadhan
si super jahil, Nurul yang selalu jadi bahan ejekkan Ramadhan, bahkan aku
adalah salah satu yang terkenal karena aneh. Entah apa yang membuatku mendapat
julukan seperti itu. tapi aku memang tak
terlalu peduli dengan omongan mereka, aku lebih senang lihat yang terjadi,
menjelajah dan mengamati sekitar tanpa harus ikut kedalamnya.
Dia, adalah
Kira. Namanya Akira, bukan Akhirat. Katanya sih dia anak terakhir dari 4
bersaudara, jadi Ibunya memberi nama Akira. Dia teman sekelasku di tahun kedua
ini. Gadis atraktif dan bawel ini banyak tingkah. Lari sana, lari sini, ngobrol
sana, ngobrol sini, rasanya ingin aku bekap mulutnya. Dia juga suka menggodaku,
mengajakku bercanda. Pada akhirnya aku mengalah, aku ikuti permainannya, aku
mulai terbiasa dengan ke-“berisik”-annya itu.
Di kelasku ada
peraturan, setiap hari harus berganti pasangan tempat duduk. Jadi kami
benar-benar kenal siapa saja teman kami di kelas, karena kami pernah duduk
dengan semua anggota kelas paling tidak satu kali. Satu hari aku mendapat duduk
dengan si cerewet, Kira. Dia tak berhenti bicara, mulai tentang pelajaran yang
sedang dibahas, tentang teman sekelas, bahkan tentang cuaca di luar kelas. Dia
selalu membawaku pergi dari luar kelas. Menyenangkan sekali duduk bersamanya
saat pelajaran fisika.
Satu hari saat
istirahat ia menghampiriku di depan kelas.
“Awal!
ajari soal matematika yang kemarin. Aku buntu sekali. Yayayayayayayaaaaa?”
“Ah
kau ini, selalu saja. Jelas saja buntu, kau selalu saja tidak memperhatikan
saat pelajaran berlangsung..”
“Aaaaah,
kau sudah berani menasehatiku yaa.. ayolah, ajari ya ya yaaaa. Nanti aku
belikan mie ayam depan sekolah..”
“Ah
yasudah.. tapi benar-benar perhatikan ya!”
“hihihi
asyiiiiiik…”
Dia yang selalu
berhasil membujukku untuk mengajari pelajaran yang tidak ia pahami. Dia selalu
berhasil membujukku dengan rengekkannya yang takkan berhenti sebelum ada
persetujuan, dan juga karena mie ayamnya. Dia selalu berhasil membuatku
berkata, “Ya”. Aduh, aku jadi terlihat gampangan, ya?
Hari ini giliran
ku duduk bersama sobatku, Wawan. Kami mengobrol tentang apa saja. Tiba-tiba
Wawan mengalihkan pandangannya kepada si bawel yang sedang lari kesana kemari.
Aku lihat lagi, wajahnya sedang sumringah. Wawan jatuh cinta. Ku tepuk
pundaknya lalu menggodanya. Ia mengelak, bersikap sok tangguh seakan tak
terjadi apa-apa dan melanjutkan percakapan yang biasa kami bicarakan. Tapi aku
tahu, matanya tak pernah lepas dari Kira. Wawan benar-benar jatuh cinta.
Selang beberapa
minggu, waktunya ujian smester satu di tahun kedua ini. Lagi-lagi aku duduk
bersebelahan dengan Kira. Kali ini dia diam, karena ujian matematika membuatnya
bungkam seribu bahasa. Lucu sekali melihatnya mengerjakan soal matematika, dia
akan mengerutkan dahi dan bibirnya akan maju sampai batas maksimal. aku
lanjutkan mengerjakan ujian milikku sendiri. Selesai ujian kira tiba-tiba
mengajakku bicara, wajahnya serius.
“Aw….”
“Apa?”
“Wawan
nembak aku.”
“Lalu?”
“Aku
menerimanya.”
“Lalu?”
“Kami
pacaran.”
“Lalu?”
“Tak
ada pertanyaan selain ‘lalu?’, hah?” jawabnya kesal.
“hahahah
selamat kalau begitu..”
“Kau
tak bertanya bagaimana bisa? Semua orang yang ku beritahu bertanya itu..”
“Aku
hanya merasa tak perlu bertanya, karena aku tahu..”
“Kau
peramal, ya?”
“Sudah
ah, kau ini. Sebentar lagi ujian IPS” ku dorong wajah penasarannya menjauh
dariku. Ia mendengus kesal dan kembali menekuni buku IPS.
***
November
2007
Pesan singkat
mengejutkanku.
Wawan dan aku memutuskan untuk berpisah. Dia punya
gadis yang lebih lucu dan lebih pintar.
Kau sedih?
Entahlah, aku sebal. Bisa ketemu? Aku ingin makan bakso.
Ayo! Ku traktir mie ayam
Kau dimana? Biar
ku jemput.
Kira tak
membalas. Dan aku tahu dimana dia berada saat hatinya gundah gulana. Hanya satu
tempat dia merenung. Di atas rongsokan mobil jeep tua di bawah pohon kedondong.
Duduk sendirian, mengelupasi cat mobil yang sudah pecah-pecah. Setelah
melihatku, dengan gesit ia turun dan langsung menarik tanganku.
“Ayo cepat, aku
lapar!”
Itu kali pertama ia patah hati. Ia bubuhkan sambal hingga sepuluh sendok makan, ditambahnya cuka dan garam agar cukup asam dan gurih. Aku tak yakin mulutnya akan bisa merasakan baksonya, yang ku hirup hanya aroma cabai yang sangat menyengat. Dia tak bicara padaku, tapi bicara pada isi dalam mangkuknya. Berkali-kali ia aduk, berkali-kali ia tiup uapnya. Rasanya tak habis-habis. Jelas, ia tak memakan isinya. Dia benar-benar patah hati.
“Hei, itu bakso.
Bukan cucian yang harus terus diputar dan diputar. Gigit basonya!”
Dia menoleh padaku, dengan wajah sebal ia mulai memakan basonya yang mulai dingin. Memang dasarnya dia sangat menyukai bakso, apapun rasanya akan tetap ia habiskan hingga tak bersisa kuahnya. Sambil bercucur keringat menghabiskannya, aku tahu ada air mata yang jatuh bersama bulir keringat itu. Itulah Kira, senang menyembunyikan sedihnya saat memakan semangkuk bakso pedas.
Ya, Kira patah
hati di masa SMA. Dan, ya, kami masih terus bersama.
***
Agustus
2010
Hari itu Kira
mengajakku menonton film eropa dalam acara festival film eropa. Kami menumpangi
bis reyot yang pandai sekali berkelit di jalan yang penuh mobil. Seperti biasa,
selalu ada saja yang ia bicarakan. Hari ini dia bicara tentang impian-impiannya
di masa depan. Salah satunya menemukan pasangan hidup. Kira, sisi kekanakannya masih
sangat melekat di usia beranjak dewasa ini. Sekalipun ia membicarakan soal
jodoh, aku tak pernah menangkap kedewasaan pada dirinya. Ia selalu diliputi
perasaan romantis ala film drama atau dongeng para putri.
“Kau
ini terlalu serius! Tak pernah bisa romantis sedikit.”
“Aku
bukan serius, hanya realistis..”
“Tapi
tak ada salahnya berkhayal, setidaknya aku percaya masih ada orang seperti itu
meski hanya satu di dunia ini.”
“Ya,
ya, ya… fantasi percintaanku berbeda denganmu…”
“Kau
juga punya imajinasi cinta-cinta-an? Ku kira yang dipikiranmu hanya pelajaran
dan teman-temannya”
“Sial!
Aku pun pernah jatuh cinta!”
“OH,
YA?! Mengapa tak pernah cerita?”
“Untuk
apa? Kau bawel..”
“Apa
urusannya dengan bawelku. Toh aku masih mendengarkanmu bicara. Aku tak pernah
memotong saat kau bicara, kan? Ayolah ceritaaaaaaaaa….” rengekkan, pintar
sekali ia merengek seperti bayi, membuat orang sebal mendengar rengekannya dan
akhirnya mengalah untuk menuruti maunya.
Ku ceritakan
tentang Dina, gadis soleha nan anggun yang pernah duduk sebangku denganku saat
SMA. Ku ceritakan juga ketidakmungkinan ku untuk bersamanya. Kira, selain
cerewet memang selalu menjadi pendengar yang baik. Hanya saat seperti ini ia
bisa menjadi cukup dewasa bagiku.
“Kau
jadi lanjutkan studi di negeri orang?”
“Jadi,
nanti akhir bulan aku berangkat..”
“Jadi
kau akan meninggalkanku?”
“Hanya
dua tahun. Kau masih bisa menghubungiku..”
“Tapi
kita nggak bisa makan bakso dan mie ayam lagi…”
“Sejak
kapan kau jadi manja seperti ini?”
“Entahlah,
sulit membayangkan hari-hari tanpamu. Aku sebal tak ada yang mendengarkan. Aku tak
mau makan bakso sendiri.”
“Dua
tahun sebentar. Bersabarlah.”
***
November
2010
Aku menikmati kesendirian di negeri
orang. Aku menikmati kegiatan di sini. Tapi selalu saja ada yang mengganggu
ketenanganku. Siapa lagi kalau bukan si cerewet.
HEI! AKU SUDAH MERINDUKANMU!
Ini baru 3
bulan..
Jadi kau belum rindu padaku? Pada rumah juga?
Sorry, not yet..
Aku bukan orang yang mudah merindu.
Sejak awal aku senang menghadapi petualangan. Ini petualangan bagiku.
***
Agustus
2011
Kira masih terus di sisiku meski jarak
menjadi jurang pemisah. Ya, Kira, si bawel dari gua macan.
Hei, sudah hampir setahun kau disana. Kau ingat?
Ya, tak terasa
sudah setahun.
Padahal rasanya baru kemarin aku mengantarmu ke
bandara. Sambil sedikit meneteskan air mata.
Kau menangis?
Tidak, aku tertawa! Dasar bodoh!
Ahahah maaf,
tapi mengapa aku tak melihat?
Ya, karena hanya tinggal punggung dan ranselmu yang
kulihat..
Ooh
Hei, sudah rindu rumah?
Hmmm, belum…
Aku belum merindukan rumah. Aku hanya
sedang menikmati petualangan di negeri orang, petualangan yang entah kapan lagi
akan ku dapatkan. Petualangan yang akan menjadi batu loncatanku meniti karir di
negeri orang.
November
2011
Tahun ini akhir bulan ini Kira akan
wisuda. Jangan salah, bukan aku yang terlambat lulus, tapi Kira mengambil D3
sehingga ia dapat menyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu. Sayang sekali aku
tak dapat menghadiri acara wisudanya karena aku yang masih dalam studiku.
Seperti biasa, dia langsung saja menyapaku di aplikasi chatting tak berbayar
Bulan ini aku wisuda. Dan kau masih disana L
Salah kau yang
duluan wisuda.. hahaha
Salah kau yang pergi jauh sekali dan tidak
mengajakku
Maaf, jika bisa
aku ingin sekali datang…
Jika aku meneruskan S1 nanti, kau HARUS datang!
Amiiiin..
***
Oktober 2012
Pagi ini aku
melakukan video call dengan Ibuku.
Ibu baik saja, Ayah juga begitu, dan Dwi, adikku sedang berjuang di sekolah
pelayarannya. Tiba-tiba Ibu bilang Kira sempat masuk rumah sakit, tapi Ibu tak
mengerti jelas apa yang di deritanya. Kata ibu, Kira terserang demam tifoid
karena masih sering jajan sembarangan dan terlalu lelah bekerja. Ya, Kira sudah
bekerja di salah satu stasiun radio terkenal. Bukan sebagai penyiar, tapi
produsernya. Beberapa hari ini memang aku tak sempat mengajaknya berbincang, ku
kira memang baru-baru ini ia masuk rumah sakit jadi memang dia belum sempat
mengatakannya padaku. Tapi ibu bilang sudah sejak seminggu yang lalu ia
berbaring lemah di rumah sakit.
Selesai bicara dengan ibu dan ayah, aku
langsung menyapanya..
Hei cerewet.
Haiiiiiiiii
kesayanganku, rindu padaku ya?
Mengapa tak bilang kalau sakit?
Kalau
aku sakit kau bisa merindukan ku ya? Hihihi
Sakit apa?
Biasa,
aku terlalu semangat melakukan pekerjaanku. Kata dokter harus istirahat total.
Oh…
Sudah?
Selesai khawatirnya?
Kau harusnya tahu diri, kalau sudah
lelah jangan dipaksakan!
Aku
rindu makan baso bersamamu….
Ohya, aku segera pulang.
Ah,
benarkah? Kapan kau di wisuda… kirimkan foto mu yang paling keren ya!!
Cepat pulih ya..
Siap
bosss!
***
November
2012
Teruntuk kesayangaku,
Awal
Tiba-tiba aku ingin menulis surat untukmu. Aku malas
bertanya kabarmu, karena aku yakin kau tetap akan baik-baik saja disana. Kau
terlalu mudah beradaptasi berada di luar jangkauan orang-orang yang mengenalmu.
Seakan enggan direcoki dengan hal-hal yang menurutmu sepele. Mungkin aku sok tahu.
Aw, jika lihat kalender aku ingat waktu pulangmu
akan segera datang. Dua minggu lagi, kan? Aku ingin menjemputmu jika bisa. Dan
kuharap hari itu hujan. Aku ingin terjebak hujan bersamamu di warung bakso kesukaanku
dan mie ayam kesukaanmu, emm, mie ayam yang kau terpaksa harus kau suka. Aku
tak mengerti mengapa kau begitu baik mengalah kepada keinginanku. Tapi aku
senang kau melakukannya, kau ini benar-benar teman terbaikku.
Aw, disini hujan. Aku menatapnya dari jendela kamar
rumah sakit. Aku sendirian disini. Pasien yang lain sudah pulang, padahal aku
pula yang pertama masuk. Aku sudah bosan disini. Kalau kau ada, mungkin takkan
sesepi ini. aku menantikan kepulanganmu, sangat. November terakhir ini jadi
sangat menyakitkan, selain karena badanku yang terkapar, dan ketiadaan hadirmu.
Awal, aku rindu. Apa kau masih tak merindukanku?
Penuh peluk,
Akira
Surat itu datang
sehari sebelum aku pulang. Hatiku mencelos saat tahu ia masih di rumah sakit
saat menulis surat itu, yang artinya ia sudah berada di sana selama hampir satu
bulan. Aku gelisah. Seluruh jiwaku terasa berlari berburu ke tempatnya.
Beberapa hari ini ponselnya pun tak dapat ku hubungi, seluruh media sosialnya
pun tak ada jejak.
Kira, ku harap kau baik-baik saja.
Langkahku terlalu ringan menuju bandara, meski penuh dengan rasa khawatir. Semalaman aku tak juga terlelap karena gelisah di dukung oleh kopi tak mengijinkanku untuk terpejam sedikitpun. Aku masih mencoba untuk menghubungi Kira.
Kira..
Ya,
Awal..
Kemana saja kau?!
Maaf,
aku tak menyalakan ponselku.
Dua minggu tak kau nyalakan ponselmu?
Ponsel mu rusak? Kau masih sakit?
Tidak
Lalu? Kau masih sakit?
Hanya
ingin istirahat. Badanku mulai enak hari ini. besok kau sampai jam berapa? Aku
ingin
menjemputmu..
Mungkin jam 5 sore.
Baiklah.
Aku menunggu, Aw…
Aku khawatir padamu, Kira..
Ganjil sekali
percakapan itu. Setelah pesan terakhirku ia tak membalasnya. Aku harap dia
memang sedang ingin istirahat. Sungguh keterlaluan dia, membuatku khawatir
setengah mati seperti ini.
***
Desember 2012
Desember sudah
menyapa, meski sudah di tempat tropis seperti ini aku masih saja merasakan hawa
dingin musim salju di sana. Barangkali juga karena aku yang masih tak ingin
bicara dengan Kira. Dia bohong padaku, tak datang menjemputku, tak juga
menghubungiku. Hingga hari ini, hampir 2 minggu setelah kepulanganku. Tega
sekali dia. Tapi lebih mengesalkan lagi karena aku harus disibukkan dengan
segala pekerjaan di kantor baru. Ya, aku sudah bekerja sekarang, lebih tepatnya
diajak bekerja oleh kolega Ayahku di perusahaan minyak.
Aku jadi merasa bersalah juga pada Kira karena tak mendatanginya. Tapi kenapa pula dia tak mendatangiku, biasanya ia lincah kesana kemari hanya untuk menggangguku. Diantara perasaan kesal, terselip firasat yang ingin ku buang jauh-jauh. Kulanjutkan kembali aktivitasku, di depan komputer, menghadiri meeting, dan dan pekerjaan kantor lainnya yang semakin membuatku bosan.
Di sela-sela
meeting, ibuku menelpon.
“Mas, kamu bisa datang ke Rumah Sakit?”
“Lho ada apa?
Mama sakit?”
“Kalau sempat tolong
datang.”
Klik!
Begitu saja. Ibuku tak biasanya melakukan hal ini padaku. Perasaanku berkecamuk. Isi pertemuan siang itu tak kutangkap dengan sempurna. Sesegera mungkin aku meninggalkan kantor untuk menyusul Ibu ke rumah sakit.
Sesampainya di
rumah sakit, Ibu sedang menungguku di ruang tunggu lobby.
“Bu, siapa yang
sakit?”
Ibu hanya
tersenyum getir.
***
Untuk
Awal,
Barangkali
kau akan marah padaku. Tapi selagi aku masih mampu menulis, aku ingin menulis
untukmu. Kau bisa kenang tulisan ini sebagai surat cinta jika kau mau. Jika kau
mau lho, aku tak memaksamu.
Awal,
maaf aku tak ceritakan soal ini. Aku tak ingin kau khawatir berlebihan
terhadapku. Aku sudah hampir sebulan berbaring di rumah sakit. Rasanya lelah
sekali. Kau tahu, minum obat setiap hari, makan-makanan yang membosankan setiap
hari, ruangan yang sama setiap hari. Aku bosan. Aku ingin bakso, tapi aku tak
boleh makan-makanan seperti itu, kata mereka ususku terlalu lelah untuk
mencernanya jadi aku makan bubur saja setiap hari. Aaah kau tau betapa
membosankannya?! Kau bisa bayangkan! Huh!
Aku
memang ingin kau ada di sampingku saat ini, hanya saja, aku tak yakin apakah
kau bisa membuatku tegar, atau malah membuatku menangis. aku juga tak tahu
apakah kau ingin melihatku seperti ini, rasanya tidak. Sebagai penghibur, Ibumu
dengan sangat baik menemaniku disini, bersama Ibuku, kami melakukan hal-hal
yang biasa dilakukan wanita. Bergosip, nonton drama, mengecat kuku, sesekali
berdandan. Aku minta pada Ibumu agar tak menyampaikan kondisiku padamu. Kau
pasti marah, kan?
Awal…
Aku
merindukan mu. Apa kau sudah merindukan ku?
***
Aku terlalu
kesal untuk menebak-nebak yang sedang terjadi. Aku mendadak berhenti dan
memberhentikan langkah Ibu.
“Bu, tolong jawab Awal, siapa yang sakit?”
Ibu terlihat ragu untuk bicara, matanya mengiba, seakan tak tega mengatakannya.
“Kira, Nak..”
Seketika aku merasakan angin musim dingin di negeri orang. Aku sudah tahu ini sejak pertama, aku tahu, tapi aku menyangkalnya. Kira, ada apa denganmu?!
Aku berdiri di depan kamar nomor 611. Aku ragu. Tapi kakiku bergerak cepat. Di dalamnya aku tempukan gadis kurus yang wajahnya tak asing, walaupun terlihat lebih tirus pipinya, tapi ku lihat mata sendunya mengerling.
“Kira……” kataku lemah, setengah berbisik.
Ia mendengar, ia menengok, ia tersenyum. Senyum itu, aku kenal senyum itu. satu-satunya senyum yang selalu membuatku nyaman selain bersama Ibuku, senyum gadis itu. Langkahku terbata mendekati tempat tidurnya.
“Hei! Mengapa kau lemah sekali sih! Sini kau!” teriakan itu, berasal dari matanya.
Aku duduk di tempat tidurnya, meraih tangannya yang bebas dari jarum infus. Tak ada percakapan. Kami hanya bertatap. Aku kehabisan kata, semua tertelan air mata yang mulai menggenangi pelupuk mata. Aku menggenggam tangannya erat.
“Jangan cengeng!” kata matanya nakal.
“Kenapa kau tak
pernah bilang?” aku tak bisa membaca matanya, ia hanya tersenyum.
“Kira, aku
merindukanmu, sangat merindukanmu..” kataku setengah berbisik.
Air matanya
meleleh, semua berjatuhan. Bibirnya masih tersenyum.
***
November 2013
November sudah
menanti di pelataran, menanti untuk disambut. Bersama semangkuk mie ayam bakso,
aku selalu senang menyapa November, anginnya menghembuskan ceria melankolis
Kira. Mengingatkan padaku bahwa selalu ada ceria di bulan November yang penuh melankoli
hujan. Terima kasih sudah memperkenalkanku pada Novembermu, Kira.
Aku
merindukanmu, Kira………
Komentar
Posting Komentar