Senja masih saja menyapa dengan
hangatnya. Masih menjadi lukisan Tuhan yang paling kita nantikan di setiap
hari. Langit kita masih seperti dulu, ketika berbaring bersama menatap
kemerahan langit, di rumput hijau. Kita menemukan mimpi-mimpi di setiap
gerakkan awan yang bergumpal-gumpal. Janji-janji kita melebur bersama hujan
yang meresap perlahan. Kau, aku berjanji untuk saling mengikat diri, di hari
dengan senja yang begitu indah, di pekarangan rumahku.
Senja manis saat kita remaja,
janji kau ucap. Janji untuk kembali dan menemukan hatiku apapun yang terjadi.
“aku janji bawa cincin ini lagi,
buat kamu. ”
“hanya cincin saja?”
“baiklah, aku yang akan menyambut
jabat tangan ayahmu, ketika itu aku akan berikrar.”
Aku hanya tersenyum mendengar
Akbar mengatakannya.
Saat itu umur kami baru 18
tahun……
***
Rasa-rasanya
siang ini matahari sedang gencar mengobral panas. Bahkan awan enggan memayungi
jutaan manusia di bumi, dan lebih senang bergerak mengikuti angin. Sedangkan
aku, berjalan mencoba bersahabar dengan matahari yang tak sabar menguras air
dalam tubuhku. Bajuku basah semua. Kali ini aku berjalan menuju toko souvenir
unik. Aku sudah berjanji untuk bertemu seseorang disana.
Dari
jauh sudah terlihat sosok pria gagah berbaju rapi ala eksekutif muda, badan
tegapnya membuat siapa saja terpesona. Dia Iwan, pria kesayanganku. Sengaja
kami bertemu di tempat ini, supaya cepat terpilih souvenir yang akan terbeli.
Aku malas berlama-lama memilih sesuatu.
“Hei,
muka mu lusuh sekali..” Katanya iseng, sambil mengacak-ngacak poni ku yang
lepek.
“Ah
ya! Kau tak lihat matahari seraya menyerbu siapa saja yang berjalan hari ini?”
“Hahaha, sudah, ayo masuk. Kau harus
kembali ke kantor lagi, bukan? Nanti kita tak sempat makan siang bersama.”
Sapaan
yang tak cukup menyenangkan, tapi renyah tawanya dan rangkulan lembutnya selalu
membuatku meleleh tanpa perlu di panggang.
Seselesainya,
aku meminta dia untuk mengantarku ke stasiun terdekat. Kebiasaannya, setiap
bertemu diluar saat istirahat, dia selalu saja menawarkan untuk mengantarku ke
kantor. Dia selalu tahu jawabannya, tapi dia selalu bertanya. Akhirnya aku
bertanya, mengapa dia selalu bertanya. Dengan santai dan mukanya dibuat sok ganteng, dia menjawab,
“Aku
kan perhatian.”
Aku
nyengir mencemooh dan langsung melayangkan cubitan gemas sampai ia teriak minta
ampun dan aku hanya tertawa melihatnya kesakitan. Sampai sekarang aku bingung,
apa yang membuatnya tertarik padaku? Ku kira ia sedang bermimpi saat memintaku
untuk menikah dengannya.
Rencana
makan siang bersama gagal. Telpon dari atasanku mengubah semua rencana. Aku
harus kembali sebelum jam 2 karena meeting mendadak. Segera saja aku berlari ke
arah stasiun. Bahkan aku lupa mencium supir pribadiku itu. Oh, maafkan aku
sayang. Ternyata gayung bersambut, kereta sudah memasuki stasiun. Aku makin
tergesa berlari. Untuk masih sempat naik tanpa harus terjepit pintu.
Masuk
dengan terengah, peluh bercucuran. Karena kesal gerbong wanita terlalu ramai,
aku pindah ke gerbong lain. Tapi tetap saja tak dapat tempat untuk duduk. Ah,
tapi toh hanya 3 stasiun dekat. Berdiri di depan pintu, menghafal presentasi
yang akan ku bawakan dalam meeting dadakan itu. Nampaknya semua sudah jadi
konspirasi semesta. Aku turun bergegas, tapi sadar bahwa tas jinjingku tertinggal
dan kartu keretaku disana. Terlambat! Kereta sudah kembali jalan. Tepok jidat.
Lemas.
“Permisi,
Mbak. Tasnya ketinggalan ya?”
Aku
angkat kepalaku untuk melihat wajah orang itu. Malaikat penyelamatku. Lalu
terhenyak.
“Akbar?”
Ya
Tuhan, apa rencana-Mu setelah ini?
“Icha?”
“Maaf,
Bay. Aku sedang buru-buru. Terima kasih tas nya. Aku duluan ya.”
“Cha,
tunggu..”
“Aku
benar-benar sedang buru-buru, nanti sore saja temui aku di gedung Pinota Lantai
16.”
Tuhan
apa lagi rencana-Mu setelah ini. Hatiku tak berhenti berdebar, bukan karena
tergesa. Muka ku panas, mataku perih, bukan karena matahari atau kelilipan. Aku
berlari mengejar kopaja reyot dengan asap hitam. Aku masih terengah. Masih
bingung apa yang terjadi barusan. Apakah nyata? Apakah hanya halusinasi. Turun
bis, aku gontai berjalan ke arah lift.
***
7
tahun lalu..
Akbar
harus pergi setelah pertemuan akhir, ketika senja sedang indah terlihat dari
beranda rumahku. Janji terucap. Aku pun meyakini janji itu, aku berjanji
menanti, menunggu. Sampai Ia kembali dari Maastricht, setelah ayahnya selesai
dengan pekerjaannya.
***
Meeting
berjalan sesuai harapan, meski dalam otakku masih berkecamuk semua, dan
membuatku sedikit oleng saat berdiri untuk bersiap pulang. Aku makin gontai,
enggan mengarungi ramainya jalanan. Tapi ketika keluar ruangan, aku dapati pria
tegap berwajah manis dan periang. Dia tersenyum.
“Hai,
Cha..”
Kami
akhirnya menuju stasiun dengan berjalan kaki santai. Sore itu teduh sekali,
dengan angin semilir. Rasanya semua kembali ke masa lalu. Kami bersama lagi
saat senja, senja kemerahan penuh syahdu. Percakapan basa-basi menguap begitu
saja, berlalu seperti asap-asap kendaraan. Akbar menceritakan hidupnya di
negeri orang.
“Maaf,
aku tak menghubungimu. Aku yakin kamu masih menungguku. Aku sudah pulang sejak
dua tahun lalu..”
Mengapa
dia tak mencariku? Aku masih menunggu.
“Maaf,
aku tak mencarimu. Maaf. Aku sempat tak yakin kau masih menunggu. Aku tak yakin
kita ditakdirkan untuk bersama. Maafkan aku, Cha. Tapi pertemuan ini
menyadarkan aku. Kita memang masih diizinkan untuk bertemu dan melanjutkan
mimpi-mimpi kita.”
Aku
menunggu sendirian, dia dengan enaknya berspekulasi kalau aku berhenti untuk
menunggu? Tuhan, apakah doa-doa yang ku kirimkan untuk menjaganya dan hatinya
tak sampai? Apa angin malas menyampaikan? Ya, Tuhan, jika sudah begini apa yang
harus ku sampaikan padanya?
***
Seminggu sebelum ramadhan…
Hari
ini hari besar untukku. Seseorang akan mengucapkan ikrar sehidup semati, akan
memberikan janjinya padaku dan ayahku. Disaksikan keluarga besar, di dalam
mesjid megah. Aku berjalan menuju meja akad, mereka berdecak kagum melihatku
dalam balutan kebaya putih dengan kain batik warna coklat. Hatiku berdebar. Di
kursi keluarga, ada orang spesial juga dalam hidupku.
“Saya
terima nikah dan kawinnya, Marissa Arnita Binti Soenarjo Soetojo dengan mas
kawin tersebut, dibayar tunai..”
Kelegaan
setelah satu tarikan nafas menjadi ikrar.
“Selamat
ya, Cha. Semoga kamu dan Iwan bahagia..” ucapnya sambil memberikan pelukkan
hangat padaku.
***
Senja
kita masih sama. Masih langit berwarna kemerahan dengan sensasi hangat pelukkan
dan sejuk angin semilir. Meski bukan kamu yang berbaring di pekarangan rumah
ku.
Note:
ini tulisan lama yang pernah diikutsertakan dalam lomba, tapi sayang belum beruntung.
Komentar
Posting Komentar