Langsung ke konten utama

sendiri

terkukung sendiri di kamar hampa membuatku semakin sesak.
aku tersedu sendirian, menggeleng untuk bermacam pikiran negatif. 

kau mampu temukan tawaku, akan sangat mudah untuk itu.
kau mampu temukan perihku, akan mudah juga untuk itu.
tapi aku adalah penyimpan perasaan dengan kapasitas besar, itu perlu kau tahu.
hingga menahun.
duh, penyimpan perasaan atau pendendam? tak tahu.


ku temukan kesenangan di sore hari, dalam perjalanan menuju satu tempat.
ku harap ada kesenangan juga saat pulang, tapi ku dapat kesunyian.
tak ada sambutan hangat, tak ada cakap menyenangkan.
hanya hening.

benarkah aku hidup di dunia hanya sendiri?
atau kesepian yang terus mengikutiku?
atau aku adalah rumah untuk kesepian itu?

mulai sekarang kau bisa bersyukur atas semua perhatian lebih dari para tetua mu. 
masih ada yang tidak merasakan..
dan  barangkali aku pun harus bersyukur atas rasa sepi ini. 
jika tak ada ini, aku pasti belum pernah rasakan keramaian...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Untuk Bima

Teruntuk, Bima Amartha Putra   Selalu saja keadaan buruk seperti ini yang memaksaku untuk ingat masa lalu. Yang aku ingat, kau suka bernyanyi. Sama sepertiku. Hanya saja kemampuan dan keberanianmu lebih besar ketimbang aku. Dengan gitar kau berdendang tanpa ragu. Aku hanya ikut bersenandung “hmm”. Sepengingatanku, kau pernah jadi pacar temanku. Hubungan yang berlangsung cukup lama dan banyak hal yang terjadi antara kau dan temanku. Putus-nyambung, selalu jadi bumbu. Kau adalah salah satu sahabat dari orang yang pernah cukup dekat dengan ku (sebut saja “mantanku”). Kau mengenalnya lebih dulu daripada aku. Mungkin sebab itu juga kita bisa berteman. Yang aku pernah ingat, tak jarang kita semua bermain di luar jam sekolah. Hanya sekedar nongkrong ala anak abg. Sesekali mengabadikannya lewat foto-foto yang jika dilihat sekarang akan membuat kita berkata, “iuuuuhhh, ini kita dulu?” Kini kau sedang berjuang. Aku tahu kau sedang berjuang. Aku tak pernah cukup dekat unt...

Pergi ke Makassar

Negara seribu pulau adalah salah satu sebutan untuk Indonesia. Memang, karena saking banyaknya pulau yang dimiliki oleh Indonesia. Banyak turis datang untuk berkeliling dan mencari surga-surga tersembunyi di pulau-pulau kecil negara ini. Aku iri. Aku sebagai orang Indonesia justru belum punya kesempatan untuk berkeliling di negeri sendiri. Awal tahun ini, aku bertemu dengan sahabatku, membicarakan impian-impian yang ingin kami capai. Ohya, teman yang satu ini adalah salah satu teman yang selalu memberikan aku semangat untuk terus bermimpi. Bermimpi setinggi-tingginya. Selanjutnya aku melanjutkan perjuangan-perjuangan yang memang harus aku lalui, kadang tak setangguh saat aku memimpikannya. Aku rasa  seringkali aku kurang memaksakan diri untuk hal-hal baik. Semoga belum terlambat untuk mengejar mimpi-mimpi itu. Percakapan semakin seru saat kami membicarakan penulis  dan penyair favorit kami, Aan  Mansyur. Ia berdomisili di bagian timur negara ini, tepatnya di Kota...

Umi..

Ku lihat Wanita paruh baya, sedang bersimpuh di hadapan-Mu. Meminta dengan khusyuk.  Ku lihat wajah sendu, dengan senyum tipis terkembang .  Umi, itulah panggilannya. Panggilan seorang untuk seorang ibu. Ibu yang rela berpisah dengan anak bungsunya demi membantu sepupu dari suaminya, bukan keluarga kandungnya.  Seorang istri yang setia, siap sedia menemani sang suami hingga akhir. Merawat, menemani. "Nining, jangan main-main keluar.", pinta Bapak saat itu. Dengan senang hati, Umi menyanggupinya. Istri yang selalu menyanggupi keinginan suaminya. "ning, saya mau sop daging bening." walau harus berjalan, dilakukan oleh Umi. Aku tak pernah mengerti cinta sejati, tapi cinta yang tulus bisa kulihat dari ibu kandung ku yang baru ku kenal baik beberapa bulan terakhir ini.  Umi, semoga uji bisa menjadi istri dan ibu seperti Umi kelak..