Sejak beberapa bulan yang lalu aku pernah berjanji pada Tante Ina, orang tua Harith, temanku, untuk datang bermain ke rumahnya setelah menyelesaikan magang dan sidangku. Siang ini aku menepati janji itu. Tapi karena Harith nggak pulang ke rumah, jadilah aku bertemu Tante Ina di pusat perbelanjaan di daerah BSD. Alasannya karena transportasinya yang sulit, kalau Harith ada di rumah mungkin aku bisa di jemput menggunakan motor.
Awalnya aku berjanji untuk bertemu pukul sebelas siang, tapi nyatanya, aku kena macet. Sepanjang jalan yang biasanya aku lalui hanya dengan 30 menit, kali ini aku melewatinya selama 1,5 JAM. Menyebalkan! Dan hal ini membuat Tante Ina menunggu cukup lama, untungnya beliau orangnya santai saja. Bahkan ternyata beliau sudah sempat berbelanja baju sebelum aku datang, maklum ibu-ibu.
Setelah bertemu, aku banyak berincang. Tentang semua hal, kuliah, dunia kerja, keluarga, pribadi, semuanya. Menyenangkan. Seperti berbicara dengan teman, hanya saja aku lebih segan dan karena beliau bicara dengan menggunakan kiasan terkadang aku tak begitu paham maksudnya, tapi aku senang berbincang dengannya.
Tadi, beliau bertanya tentang "doi", yaaa sejenis makhluk yang sedang lengket denganku, atau sebut sajalah teman dekat yang mempunyai modus. Beliau bertanya, "Gimana si doi?". Aku nyengir," masih di angan-angan, Tan. Hahaha". Tante Ina pun ikut tertawa saja. Saat itu kami langsung berbicara soal belum punya "doi". Aku tak yakin benar apakah aku bisa menjelaskan apa yang dikatakan Tante Ina kepadaku, tapi intinya dia bilang bahwa aku belum punya pacar bukan karena aku jelek atau tidak baik, hanya saja mungkin orang-orang yang melihatku terlanjur kalah gagah denganku. Ya kurang lebih seperti itu. Tapi ku pikir lagi, mungkin menurut mereka aku bukan cewek yang perlu dilindungi atau diperhatikan haha. Mungkin.
Tapi yang pasti, yang paling melekat dalam ingatan, Tante Ina pesan, supaya aku, sebagai wanita jangan sampai bergantung sama orang lain. Katanya zaman sekarang, wanita harus bisa survive sendiri. Ya, aku sangat setuju dengan hal itu, karena Ibuku juga mengatakan hal yang sama. Kita nggak akan tahu apa yang akan terjadi nanti, lebih baik kita mempersiapkan adanya kemungkinan terburuk. Bukan berharap hal buruk terjadi, hanya antisipasi apabila hal buruk terjadi kita nggak terlalu lama terpuruknya dan bisa cepat bangkit, juga biar nggak kaget kalau sampai terjadi karna udah di wanti-wanti.
Saat hendak pulang, aku diberikan bingkisan. Kenang-kenangan dari Tante Ina, juga tambahan yang katanya untuk beli heels. Tante itu baik sekali. Sudah seperti keluarga sendiri. I'll never forget about this day and about her.
Setelah bertemu Tante Ina, sorenya aku mampir ke rumah temanku, Harki. Berbicang kembali. Banyak hal yang ku bicarakan, walau hal remeh temeh yang ku bicarakan, tapi Harki adalah orang yang paling bisa menjadi pendengar dan penyampai cerita yang baik. Nggak ada yang ngalahin pokoknya. Lalu bertemu Ayah dan Ibunya. Ibunya sedang radang, jadinya tak banyak bicara. Ayahnya selalu saja ramah.
Setelah itu aku pulang ke rumah. Membawa gema sisa-sisa percakapan tadi siang. Merenungkan, merencanakan apa yang harus kulakukan, menyegerakan untuk bertindak.
Semoga Tuhan memberikan kesehatan untuk teman bicaraku hari ini beserta keluarganya juga. Semoga mereka selalu dilingkupi rasa syukur dan cukup hingga mampu merasa bahagia. Semoga, aku bisa memberikan sesuatu untuk menyenangkan hati mereka.
Tuhan, tolong jaga jasmani dan rohani mereka. Mereka orang-orang baik.
Komentar
Posting Komentar