Saat senja menjelma menjadi jingga manis, aku duduk di atas kayu kering itu, di hamparan pasir putih pantai bening yang menyegarkan. Okta, kau ingat perjumpaan kita? Ketika dunia maya meleburkan puisi-puisi cinta yang terbentuk dari kata-kata kita. Kau ingat bagaimana kita bertatap muka? Ketika titik-titik hujan mulai turun dan tetes demi tetes kopi melewati tenggorokan kita. Pahit, manis, gurih, semua kita terima, bahkan jadi favorit kita.
Okta, kini aku duduk ditemani semilir angin senja, wangi laut semerbak berebut memenuhi hidungku. Aku melukis indahnya dengan ingatanku yang ku tata dengan rapih di memori otak kananku. Saat menatanya, tiba-tiba lamunanku terbuyar karena satu panggilan, "Rani!"
Ah, ya, Okta, belum sempat aku memperkenalkanmu dengannya. Dia Andi, calon suamiku. Aku tahu kau sebal karena aku tak memberitahu mu sejak awal. Aku memang tak pernah membawanya melihat senja seperti yang kita lakukan biasanya. Karena senja selalu spesial untuk kau dan aku.
Maafkan aku, Okta. Tapi aku yakin kau sebal bukan karena keputusanku yang hendak menikah dengan Andi, tapi karena membawanya melihat jingga senja kita. Tak apa, sampai kapan pun, senja selalu milik kita. Meskipun aku tak menyaksikannya bersamamu.
Komentar
Posting Komentar