Langsung ke konten utama

Aku Sedih, Ibu Guru...

Aku banyak bertanya dalam hati, kapan negara ini maju? Kapan negara ini bisa menyeimbangkan kemajuan negara-negara keren di luar sana? Banyak para tetua sudah malas berpikir positif untuk negara ini. Menurut mereka, kemajuan hanya ada di angan-angan. Aku termasuk anak muda yang memiliki perasaan positif atas kemajuan negara ini. Aku punya keyakinan akan kemajuan negara ini. Tapi semangat itu luntur ketika melihat  keadaan yang ada di sekolah adikku, sekolah dasar yang dulunya juga tempat aku bersekolah. 

Sekolah ini banyak berubah setelah aku keluar, 9 tahun yang lalu. Mulai dari gedung yang mulai mengalami perbaikan dan menjadi bagus, tata kelasnya, kepala sekolah yang silih berganti, hingga guru-guru yang mengajar. Sekarang, lebih banyak yang membuatku justru menjadi semakin sedih atas keadaan dunia pendidikan sekarang ini, terutama di sekolah itu. 

Kebobrokkan manajemen.Etika yang... entah lah apa sebutan halusnya. Ketidakmampuan para pengajar dalam memberikan materi. Minimnya rasa tanggung jawab para guru. Komunikasi formal yang buruk antar pihak sekolah dengan para wali murid. 

Barangkali memang tidak seluruhnya seperti itu, hanya oknum. Tapi aku geram. Geram karena oknum guru tersebut harus mengajar adikku, di penghujung pendidikkannya di sekolah dasar, yaitu di kelas 6. Tingkat akhir sekolah dasar dan juga sebagai penentu kelanjutan pendidikan di tingkat SMP. 

Kekesalan ku makin memuncak saat adikku mulai malas belajar karena tidak menyukai cara gurunya mengajar. Adikku bukan orang yang mudah sakit hati jika ditegur oleh guru. Tapi dia benar-benar antipati dengan guru yang satu ini. Terkenal galak, menyebalkan dan sebagaianya.
Guru ini mengadakan les setelah pulang sekolah, seminggu hanya 2 kali. Tapi itu hanya jadwal, kenyataannya sering kali tidak ada kelas karena gurunya beralasan ini itu. Tetapi setiap bulan selalu memintabayaran untuk ketiddakhadiran les itu. Otaknya dimana? Di dompet mungkin untuk mengawasi uang-uangnya agar terus bertambah tanpa ada yang berkurang. 

Try out, pernah merasakan try out kan? Bagaimana perasaan kalian jika pelaksanaan try out ini 2 minggu full dan di minggu terakhir dilakukan di tengah hari bolong setelah ujian praktek? Orang tuaku marah ketika mengetahui jadwal yang semerawut ini. Protes ke pihak guru. Karena kesal yang terlalu, ayahku sampai melontarkan kata-kata yang sangat tajam dan cukup kasar kepada guru yang mengajar adikku itu (kebetulan dia yang sedang ada di dalam kantor guru). Ditambah lagi sikap si guru yang tidak sopan, karena sedang dalam posisi duduk dengan kaki diatas kursi (dengan dengkul merapat ke dada) dan tidak diturunkan saat ayahku datang. Sebagai orang tua, orang jawa yang sangat saklek dalam etika seperti itu, semakin mendidihkan darah di otak ayahku. Dan terlontarlah kata-kata yang menyinggung guru itu.

Aku tahu, sebagai manusia yang masih memilik salah dan tidak sempurna. Selalu saja ada pemberi kritik, baik untuk menjatuhkan, maupun untuk membangun. Tetapi yang terjadi adalah guru ini kurang berbesar hati untuk menerima kritikan tersebut, yang terjadi adalah adikku yang menjadi semakin terbebani karena permasalahan antara ayahku dan gurunya tersebut. Ditambah lagi tekanan batin adikku karena sindiran dari guru ini. 


Masih pantaskah guru itu disebut guru?

Orang-orang berkoar bahwa pendidikan penting. Semua politisi mencanangkan sekolah gratis. Lalu bagaimana kompetensi guru yang ada sekarang? Tidak diperhatikan!

Kenapa guru-guru yang seperti itu bisa menjadi guru? Gimana bisa? Sedangkan diluar sana banyak guru yang lebih memiliki jiwa besar dan pengabdian sejati sebagai guru, guru-guru yang memiliki kompetensi yang lebih baik, memiliki metode pengajaran yang lebih baik, tapi mereka justru tak mendapatkan penghargaan yang sebanding. Minimal dari gaji. Aku tahu guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, tapi jika guru yang sesungguhnya saja tak mendapat penghargaan yang seharusnya, mereka yang hanya 'guru-guru-an' justru menndapatkan gaji yang berlimpah...

Tak bisakah diadakan tes kompetensi untuk para pendidik-pendidik kita ini?
Lalu bagaimana nasib anak-anak generasi penerus? 
Haruskah mereka merasakan penjajahan lagi? 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Untuk Bima

Teruntuk, Bima Amartha Putra   Selalu saja keadaan buruk seperti ini yang memaksaku untuk ingat masa lalu. Yang aku ingat, kau suka bernyanyi. Sama sepertiku. Hanya saja kemampuan dan keberanianmu lebih besar ketimbang aku. Dengan gitar kau berdendang tanpa ragu. Aku hanya ikut bersenandung “hmm”. Sepengingatanku, kau pernah jadi pacar temanku. Hubungan yang berlangsung cukup lama dan banyak hal yang terjadi antara kau dan temanku. Putus-nyambung, selalu jadi bumbu. Kau adalah salah satu sahabat dari orang yang pernah cukup dekat dengan ku (sebut saja “mantanku”). Kau mengenalnya lebih dulu daripada aku. Mungkin sebab itu juga kita bisa berteman. Yang aku pernah ingat, tak jarang kita semua bermain di luar jam sekolah. Hanya sekedar nongkrong ala anak abg. Sesekali mengabadikannya lewat foto-foto yang jika dilihat sekarang akan membuat kita berkata, “iuuuuhhh, ini kita dulu?” Kini kau sedang berjuang. Aku tahu kau sedang berjuang. Aku tak pernah cukup dekat unt...

Pergi ke Makassar

Negara seribu pulau adalah salah satu sebutan untuk Indonesia. Memang, karena saking banyaknya pulau yang dimiliki oleh Indonesia. Banyak turis datang untuk berkeliling dan mencari surga-surga tersembunyi di pulau-pulau kecil negara ini. Aku iri. Aku sebagai orang Indonesia justru belum punya kesempatan untuk berkeliling di negeri sendiri. Awal tahun ini, aku bertemu dengan sahabatku, membicarakan impian-impian yang ingin kami capai. Ohya, teman yang satu ini adalah salah satu teman yang selalu memberikan aku semangat untuk terus bermimpi. Bermimpi setinggi-tingginya. Selanjutnya aku melanjutkan perjuangan-perjuangan yang memang harus aku lalui, kadang tak setangguh saat aku memimpikannya. Aku rasa  seringkali aku kurang memaksakan diri untuk hal-hal baik. Semoga belum terlambat untuk mengejar mimpi-mimpi itu. Percakapan semakin seru saat kami membicarakan penulis  dan penyair favorit kami, Aan  Mansyur. Ia berdomisili di bagian timur negara ini, tepatnya di Kota...

Umi..

Ku lihat Wanita paruh baya, sedang bersimpuh di hadapan-Mu. Meminta dengan khusyuk.  Ku lihat wajah sendu, dengan senyum tipis terkembang .  Umi, itulah panggilannya. Panggilan seorang untuk seorang ibu. Ibu yang rela berpisah dengan anak bungsunya demi membantu sepupu dari suaminya, bukan keluarga kandungnya.  Seorang istri yang setia, siap sedia menemani sang suami hingga akhir. Merawat, menemani. "Nining, jangan main-main keluar.", pinta Bapak saat itu. Dengan senang hati, Umi menyanggupinya. Istri yang selalu menyanggupi keinginan suaminya. "ning, saya mau sop daging bening." walau harus berjalan, dilakukan oleh Umi. Aku tak pernah mengerti cinta sejati, tapi cinta yang tulus bisa kulihat dari ibu kandung ku yang baru ku kenal baik beberapa bulan terakhir ini.  Umi, semoga uji bisa menjadi istri dan ibu seperti Umi kelak..