Langsung ke konten utama

Janji

Perjanjian itu aku ikat kuat.
Perjanjian antara diriku dengan masa depan. 


Perjanjian untuk selalu memberi pelukkan kepada mereka, malaikat kecil yang akan Tuhan kirimkan jika Ia memang menghendakinya. Perjanjian untuk selalu memberikan pengertian yang membuat mereka mengerti maksud kasih sayangku. Perjanjian untuk memberi mereka pelajaran tentang Tuhan dengan lebih baik lagi. Perjanjian untuk memberikan hukuman yang logis atas kesalahan yang memang mereka lakukan. Perjanjian untuk tetap memasakkan makanan lezat dan sehat untuk keluarga kecilku. 


Perjanjiaku dengan masa depan yang lain.
Janjiku untuk membahagiakan mereka, keluargaku yang baru ku temui beberapa tahun terakhir ini, yang menghadirkanku dalam kehidupan ini, tetapi tak cukup waktu untuk merawatku dengan cintanya. Mungkin di masa depan waktuku merawat mereka. Janjiku memakmurkan mereka, tak perlu berlebihan, hanya agar mereka cukup.

Tak lupa janjiku untuk memberikan biaya penuh untuk dia, adik kecil yang pandai. Adik kecil yang tak benar-benar merasakan kecukupan yang pernah ku rasakan pada masaku. Aku akan menebusnya terlebih dahulu. Berbakti pada mereka yang merawatku hingga sejauh ini. Sekuat tenaga mencari untuk memberiku  harga jual tinggi dengan pendidikan yang cukup baik. Berbakti. Memberi kebahagiaan pada mereka.

Tak lupa memberi kepada mereka yang pernah memberiku. Mungkin aku tak dapat mengembalikan seutuhnya, tapi rasa terima kasih ku takkan berhenti kuucapkan kepada mereka. serta doa-doa yang ku panjatkan untuk kebahagiaan dan kesehatan mereka..



Ya, Allah, Ya Tuhanku...
Lindungi mereka semua, mereka yang belum kau ciptakan, mereka yang masih hidup, dan mereka yang telah tiada. Kau maha mendengar dan yang paling kuasa terhadap seisi dunia dan alam semesta, kumohon lindungi mereka dari api neraka, sambut mereka di surgaMu yang begitu menentramkan..

Ya Allah, ya Tuhanku...
terimakasih atas semua kebahagiaan, kesedihan, kecukupan, kekurangan, rasa sakit, kesehatan, dan seluruhnya yang Kau berikan.. Maafkan aku yang masih lalai...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Untuk Bima

Teruntuk, Bima Amartha Putra   Selalu saja keadaan buruk seperti ini yang memaksaku untuk ingat masa lalu. Yang aku ingat, kau suka bernyanyi. Sama sepertiku. Hanya saja kemampuan dan keberanianmu lebih besar ketimbang aku. Dengan gitar kau berdendang tanpa ragu. Aku hanya ikut bersenandung “hmm”. Sepengingatanku, kau pernah jadi pacar temanku. Hubungan yang berlangsung cukup lama dan banyak hal yang terjadi antara kau dan temanku. Putus-nyambung, selalu jadi bumbu. Kau adalah salah satu sahabat dari orang yang pernah cukup dekat dengan ku (sebut saja “mantanku”). Kau mengenalnya lebih dulu daripada aku. Mungkin sebab itu juga kita bisa berteman. Yang aku pernah ingat, tak jarang kita semua bermain di luar jam sekolah. Hanya sekedar nongkrong ala anak abg. Sesekali mengabadikannya lewat foto-foto yang jika dilihat sekarang akan membuat kita berkata, “iuuuuhhh, ini kita dulu?” Kini kau sedang berjuang. Aku tahu kau sedang berjuang. Aku tak pernah cukup dekat unt...

Pergi ke Makassar

Negara seribu pulau adalah salah satu sebutan untuk Indonesia. Memang, karena saking banyaknya pulau yang dimiliki oleh Indonesia. Banyak turis datang untuk berkeliling dan mencari surga-surga tersembunyi di pulau-pulau kecil negara ini. Aku iri. Aku sebagai orang Indonesia justru belum punya kesempatan untuk berkeliling di negeri sendiri. Awal tahun ini, aku bertemu dengan sahabatku, membicarakan impian-impian yang ingin kami capai. Ohya, teman yang satu ini adalah salah satu teman yang selalu memberikan aku semangat untuk terus bermimpi. Bermimpi setinggi-tingginya. Selanjutnya aku melanjutkan perjuangan-perjuangan yang memang harus aku lalui, kadang tak setangguh saat aku memimpikannya. Aku rasa  seringkali aku kurang memaksakan diri untuk hal-hal baik. Semoga belum terlambat untuk mengejar mimpi-mimpi itu. Percakapan semakin seru saat kami membicarakan penulis  dan penyair favorit kami, Aan  Mansyur. Ia berdomisili di bagian timur negara ini, tepatnya di Kota...

Umi..

Ku lihat Wanita paruh baya, sedang bersimpuh di hadapan-Mu. Meminta dengan khusyuk.  Ku lihat wajah sendu, dengan senyum tipis terkembang .  Umi, itulah panggilannya. Panggilan seorang untuk seorang ibu. Ibu yang rela berpisah dengan anak bungsunya demi membantu sepupu dari suaminya, bukan keluarga kandungnya.  Seorang istri yang setia, siap sedia menemani sang suami hingga akhir. Merawat, menemani. "Nining, jangan main-main keluar.", pinta Bapak saat itu. Dengan senang hati, Umi menyanggupinya. Istri yang selalu menyanggupi keinginan suaminya. "ning, saya mau sop daging bening." walau harus berjalan, dilakukan oleh Umi. Aku tak pernah mengerti cinta sejati, tapi cinta yang tulus bisa kulihat dari ibu kandung ku yang baru ku kenal baik beberapa bulan terakhir ini.  Umi, semoga uji bisa menjadi istri dan ibu seperti Umi kelak..