Pergilah, kejar mimpimu, aku akan baik saja
Saat itu hujan turun tak berhenti selama sehari penuh. Gerimis, hujan tak deras, tapi banyak yang jatuh. Saat Itu kau masih saja memelukku, walau kau sudah membiarkan aku untuk pergi, sungguh sangat erat hingga aku bisa menghirup dalam-dalam aroma tubuhmu yang bercampur dengan wewangian favorit mu.
Aku akan menunggu mu, di sini. Di tempat kita saling berpeluk. Ku nanti kau hingga kau datang lagi. Sungguh aku akan menantimu di sini.
Janji mu, terasa manis. Seakan harapan terus bermunculan dari setiap langkah ku yang semakin menjauh. Membuat langkahku semakin ringan mambawa tubuh lunglai ku yang dipenuhi keengganan untuk pergi dari titik temu itu.
*sebelas tahun kemudian*
Aku melihatmu disana. Ya, Kau menantiku. Kau disana. Kau tepati janjimu. Sungguh kau menepatinya. Berdiri di tengah jalan yang sepanjangnya berjejer pohon Mahoni tua yang menjulang tinggi. Sinar mentari menelusup sela-sala dedaunannya, membuat teduh semakin manis dan hangat.
Tapi disana, kau tak sendiri, kau bersama gadis manis berwajah riang, bertatapan teduh.
Hai, aku menantimu bukan? Aku mambawa tunangan ku. Kenalkan, ini Jingga.
Jingga, ini Rona, sahabat terbaikku sepanjang hidupku.
Gadis itu, sungguh terlanjur ramah dan polos. Aku hanya tersenyum getir. Ternyata penantian mu, bukan penantian dalam pengertian ku. Selama ini, aku tak benar-benar mengerti keseluruhannya. Selama ini, aku salah kaprah. Maafkan aku yang tak mencari pengganti atas ke-salah-kaprah-an-ku.
Komentar
Posting Komentar