Langsung ke konten utama

Derita Penglaju


Aku adalah salah satu warga pinggiran Jakarta yang mengalami kegilaan di daerah ibukota. Sejak lulus SMA, aku mulai merasakan kekejaman jakarta. Tempat kuliah yang jauh dari rumah, ketidakinginan untuk berdomisili dekat kampus, akhirnya setiap hari ku lewati dengan pertemuan yang cukup lama dengan si Komo (alias: macet). 

Tahun pertama kuliah, tempat kuliah ku di Salemba, Jakarta Pusat. Saat itu program kuliah ku masih menumpang di Fakultas Kedokteran Universitas tempat aku berkuliah. Karena itu, aku harus mengarungi kemacetan setiap harinya. Jadwal kuliah pun berbeda dari yang tempat kuliah lain, kuliah siang pulang larut malam. Setiap hari masuk jam dua siang, berangkat dari rumah jam sebelas siang. Pulang jam delapan malam, sampai rumah jam sebelas malam. Semua teman-teman yang tahu, selalu bilang, "ah lu mah udeh tua dijalan". Tapi paling tidak rutinitas ini lebih menyenangkan dan lebih menghemat uang dibanding tempat kuliah sekarang.

Akhir tahun pertama, akhirnya kampus ku di Depok sudah jadi, belum 100% tapi sudah bisa di tempati (katanya). Ku kira, perjalanan yang ku tempuh akan berbeda dibandingkan dengan tempat kuliah ku yang lama. Memang awalnya sih berbeda, sebelum jalan Fatmawati menggila. Perjalananku masih lancar setiap harinya. Kampus masih bisa di gapai dengan waktu yang masih wajar. Telat? Aku jarang telat sejak awal kuliah. Tapi entah mengapa kegilaan itu terjadi, entah apa penyebabnya, perjalanan dari rumah sampai kampus di depok harus ku tempuh dalam waktu 3 jam! TIGA JAM!! Yang ada di pikiran selama perjalanan cuma "KAPAN NYAMPE?!!!!" 

Saat kejadian itu aku menggunakan Bis satu-satunya yang punya trayek dari lb.bulus ke depok, Bus yang berwarna ungu menggoda itu. Hah, memang bus itu satu-satunya bus favorit orang-orang yang wara-wiri ke Depok dari LB.bulus dan sekitarnya. Dan, memang, bus itu tak pernah sepi, selalu penuh sesak. Yang sanggup naik bis itu bisa dibilang orang-orang sakti, orang-orang yang sanggup berdempetan sambil menjaga keseimbangan di atas bus yang melaju kencang. Itu jika kau beruntung mendapat jam yang pas untuk mengebut, kalau lagi apes,macet tak bisa dielakkan, kau hanya bisa berdiri, berdempetan dengan orang-orang asing, sambil berharap cepat sampai rumah. Biasanya hari sabtu kau akan menemukan keadaan seperti yang terakhir aku katakan.

Karena derita itu, sejak semester empat, jika harus berangkat pagi aku memilih naik angkot yang melewati sawangan. Memang tak menghindari macet, tapi paling tidak aku bisa duduk manis, berdesakkan pun tak begitu menyiksa. Tapi semakin lama, kemalasan untuk berangkat lebih pagi membawa ku pada kebiasaan terlambat masuk kelas. haha nakal ya..

Memang, jadi penglaju itu ngga enak banget, tiap hari kerjaannya ketemu macet. Belum kalau sedang musim penghujan, banjir juga menghantui para pengguna jalan karena ujung-ujungnya kena macet, dan macetnya akan sangaaaaaat lama..

Sekarang ini tidak ada hal yang bisa aku lakukan, selain menikmati jauh dan lamanya perjalanan. Kapan lagi aku bisa tidur di angkutan umum sampai bermimpi?





gambar diambil dari >>  http://depoklik.com/ini-dia-8-titik-macet-di-depok/?wpmp_switcher=mobile

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Untuk Bima

Teruntuk, Bima Amartha Putra   Selalu saja keadaan buruk seperti ini yang memaksaku untuk ingat masa lalu. Yang aku ingat, kau suka bernyanyi. Sama sepertiku. Hanya saja kemampuan dan keberanianmu lebih besar ketimbang aku. Dengan gitar kau berdendang tanpa ragu. Aku hanya ikut bersenandung “hmm”. Sepengingatanku, kau pernah jadi pacar temanku. Hubungan yang berlangsung cukup lama dan banyak hal yang terjadi antara kau dan temanku. Putus-nyambung, selalu jadi bumbu. Kau adalah salah satu sahabat dari orang yang pernah cukup dekat dengan ku (sebut saja “mantanku”). Kau mengenalnya lebih dulu daripada aku. Mungkin sebab itu juga kita bisa berteman. Yang aku pernah ingat, tak jarang kita semua bermain di luar jam sekolah. Hanya sekedar nongkrong ala anak abg. Sesekali mengabadikannya lewat foto-foto yang jika dilihat sekarang akan membuat kita berkata, “iuuuuhhh, ini kita dulu?” Kini kau sedang berjuang. Aku tahu kau sedang berjuang. Aku tak pernah cukup dekat unt...

Umi..

Ku lihat Wanita paruh baya, sedang bersimpuh di hadapan-Mu. Meminta dengan khusyuk.  Ku lihat wajah sendu, dengan senyum tipis terkembang .  Umi, itulah panggilannya. Panggilan seorang untuk seorang ibu. Ibu yang rela berpisah dengan anak bungsunya demi membantu sepupu dari suaminya, bukan keluarga kandungnya.  Seorang istri yang setia, siap sedia menemani sang suami hingga akhir. Merawat, menemani. "Nining, jangan main-main keluar.", pinta Bapak saat itu. Dengan senang hati, Umi menyanggupinya. Istri yang selalu menyanggupi keinginan suaminya. "ning, saya mau sop daging bening." walau harus berjalan, dilakukan oleh Umi. Aku tak pernah mengerti cinta sejati, tapi cinta yang tulus bisa kulihat dari ibu kandung ku yang baru ku kenal baik beberapa bulan terakhir ini.  Umi, semoga uji bisa menjadi istri dan ibu seperti Umi kelak..

selamat pagi untuk bunga matahari

semenjak ditinggal olehmu, aku jadi lebih senang menghitung dan mengingat tanggal. aku ingat kapan kamu pergi, kapan kamu terakhir menghubungiku. tapi maaf, soal ulang tahunmu aku masih mengandalkan pengingat di facebook karena dekat ulang tahunmu banyak orang juga yang berulang tahun, jadi aku sering keliru. aku tetap manusia, kan? jadi bagaimana kabarmu? masih betah di persembunyian? atau masih senang menjelajahi negeri indah dengan sepeda-sepeda antik mu? menghirupi udara segar setiap hari. aku sering kali ingin menemanimu. tapi aku tak mampu. aku bisa apa? aku ingin dengar cerita-ceritamu, tapi tak selalu kau ceritakan, sekalipun aku memintanya. aku bisa apa? kamu tahu, bunga matahari sudah tumbuh tinggi di depan jendela kamarku. cantik sekali. apalagi saat ia bersanding dengan matahari. semakin cerah. jadi, padanya kuucapkan salam pagiku setiap harinya. bunga itu yang dulu kamu tanam untukku. katamu, "paling tidak ada yang cerah ketika aku tak disamping...