Teruntuk Ibu yang paling hebat dan paling kuat.
Bu, dulu sebelum tahu apa yang sebenarnya, aku selalu saja berpikir tentang kehadiran Ibu. Berpikir apakah yang aku pikirkan tentang Ibu benar atau hanya prasangka ku saja. Nyatanya ada benarnya prasangka itu. Tapi kini, prasangkaku memuncak. Oh Tuhan, benar-benar otak manusia ini.
Rasanya sedih tak mendapatkan pelukkan hangat darimu lagi, Bu. Rasanya sedih jika harus merasakan kebisuan amarahmu. Selalu begitu ketika aku melakukan hal yang tak kau inginkan. Ibu lebih memilih berbicara dengan yang lain ketimbang berbicara denganku, padahal disaat yang sama hal yang kau butuhkan berada di dekatku.
Ibu, aku sungguh sedih. Aku tahu tak mudah menjadi orang tua yang baik. Aku mengerti kesulitan yang kau alami. Tapi ku mohon, maafkan kelakuanku. Tolong jangan biarkan aku tenggelam dalam kebisuan mu yang menusuk relung hati ini.
Bahkan rasanya enggan menceritakan tentang kemarahan mu kepada mereka, teman-temanku. Tapi sungguh aku tak tahan dengan kebisuan mu, bu. Maafkan aku menceritakan mu di tempat seperti ini.
Bahkan rasanya enggan menceritakan tentang kemarahan mu kepada mereka, teman-temanku. Tapi sungguh aku tak tahan dengan kebisuan mu, bu. Maafkan aku menceritakan mu di tempat seperti ini.
Memang, mungkin aku yang terlalu mengharap banyak padamu, padahal kau sudah memberikan segalanya. Maafkan aku Ibu, yang tak pernah memberikan mu bantuan yang maksimal untuk merawat rumah ini.
Maafkan aku ibu. Aku hanya ingin belaian lembutmu. Seperti masa kanak-kanak ku dulu. Jangan beri aku diam mu, sungguh tersiksa diri ini. Sungguh.
Tertanda, Anak mu yang kau kasihi
Fauziah
Komentar
Posting Komentar